Membaca Ulang Kelamnya G30S/PKI dengan Bendera Setengah Tiang

·

·

Malam yang Mengubah Sejarah Indonesia

Pada malam 30 September 1965, Jakarta tampak seperti biasanya. Lampu jalan menyala redup, radio di rumah-rumah memainkan musik atau berita, dan sebagian besar masyarakat masih tertidur dalam rutinitasnya. Namun di balik keheningan itu, sejarah Indonesia sedang berubah secara drastis. Operasi rahasia yang dikenal dengan nama Gerakan 30 September (G30S/PKI) sedang berlangsung.

Di dini hari menuju 1 Oktober, pasukan bersenjata bergerak. Tujuh perwira tinggi TNI Angkatan Darat menjadi target operasi ini. Mereka diculik, sebagian ditembak, dan sebagian lainnya meregang nyawa dengan cara yang sangat tragis. Jenazah mereka kemudian ditemukan di sebuah sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Peristiwa ini bukan hanya sekadar pembunuhan tujuh jenderal. Ia adalah titik balik dalam sejarah bangsa. Tragedi ini membawa trauma nasional yang mengguncang politik, militer, dan arah perjalanan bangsa.

Pagi Setelah Malam Panjang

Keesokan harinya, rakyat Indonesia bangun dalam kebingungan. Radio mengabarkan adanya gerakan yang menamakan diri Gerakan 30 September. Mereka mengklaim bergerak untuk menyelamatkan Presiden Soekarno dari “Dewan Jenderal”—istilah yang digunakan untuk menyebut para petinggi Angkatan Darat yang disebut-sebut akan melakukan kudeta.

Namun fakta segera berbalik. Justru para jenderal Angkatan Darat yang menjadi korban. Jenderal Ahmad Yani, Letjen MT Haryono, Letjen Suprapto, Mayjen DI Panjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen S Parman, dan Kapten Pierre Tendean menjadi saksi bisu kekejaman malam itu.

Buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa (2006) mencatat bahwa operasi tersebut melibatkan perencanaan rapi, tetapi juga meninggalkan banyak tanda tanya. Siapa dalang sebenarnya? Apakah sepenuhnya PKI? Atau ada kepentingan politik lain yang membonceng? Pertanyaan-pertanyaan ini hingga kini masih menjadi perdebatan sejarah.

Dari Tragedi ke Titik Balik

Lubang Buaya menjadi saksi bisu. Sumur tua yang gelap itu kini berubah menjadi monumen. Setiap pengunjung yang datang seakan diajak menundukkan kepala, menyadari betapa mahal harga yang harus dibayar bangsa ini.

Bagi pemerintah Indonesia pada masa itu, peristiwa ini menandai babak baru. Soeharto, yang kala itu masih menjabat sebagai Panglima Kostrad, mengambil alih kendali. Dengan legitimasi “menumpas gerakan kontra-revolusi,” ia memulai konsolidasi kekuasaan.

Tidak hanya PKI yang dituding sebagai otak di balik peristiwa, tetapi jutaan anggotanya dan simpatisan pun mengalami penangkapan massal. Menurut catatan Robert Cribb dalam The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (1990), ratusan ribu orang kehilangan nyawa, jutaan lainnya dipenjara, dicap, dan terbuang dari kehidupan sosial-politik.

Antara Ingatan dan Luka

Setiap tahun, 30 September diperingati sebagai hari berkabung nasional. Bendera merah putih dikibarkan setengah tiang. Bukan sekadar simbol, melainkan pengingat: bangsa ini pernah melewati malam panjang penuh darah dan intrik politik.

Sehari setelahnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Sebuah momentum untuk menegaskan kembali bahwa ideologi bangsa ini tidak bisa digantikan. Pancasila tetap menjadi penyangga, bahkan di tengah pusaran politik yang paling kelam sekalipun.

Namun, di balik peringatan itu, masih ada perdebatan panjang. Sebagian sejarawan berusaha menyingkap narasi di balik layar, sebagian lagi menekankan pada korban yang tak tercatat. Seperti kata sejarawan Asvi Warman Adam dalam berbagai tulisannya, tragedi ini bukan hanya tentang perwira tinggi yang gugur, tapi juga tentang ratusan ribu orang biasa yang terjerat arus politik dan menjadi korban sejarah.

Mengibarkan Bendera, Mengingat Diri

Hari ini, ketika pemerintah kembali mengimbau pengibaran bendera setengah tiang, kita seakan diajak membuka kembali lembaran itu. Sejarah yang bukan untuk dirayakan, melainkan untuk direnungi.

Bahwa politik bisa begitu kejam. Bahwa ideologi bisa memecah belah. Dan bahwa bangsa ini pernah jatuh dalam luka yang tak sederhana.

Bendera setengah tiang itu bukan hanya penghormatan untuk tujuh pahlawan revolusi. Tapi juga doa untuk semua yang pernah menjadi korban dari sebuah sejarah kelam yang terus membekas.

Seperti menundukkan kepala, bangsa ini diajak untuk tidak melupakan. Sebab, bangsa yang lupa sejarahnya, hanya akan mengulang luka yang sama.


Leave a Reply

ASKAI NEWS | Kupon kode diskon: NOVEMBERAIN Selama bulan November.

Nonton Streaming Anime (Askai Anime) di AINIME.ID


 

Translate »